HIMA IF

Kebebasan Berpendapat Mahasiswa di Era Digital: Analisis Kesenjangan Persepsi dan Praktik di Lingkungan Kampus
Pendahuluan
Digitalisasi di lingkungan kampus telah memperluas ruang bagi mahasiswa untuk menyampaikan pendapat melalui berbagai platform seperti media sosial organisasi, grup diskusi akademik, forum kampus, dan sistem informasi akademik. Namun, penelitian menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi mahasiswa di ruang digital seringkali terhambat oleh kekhawatiran terhadap aturan internal kampus maupun potensi penggunaan pasal multitafsir dalam UU ITE. Kondisi ini menciptakan chilling effect, yaitu keadaan ketika mahasiswa enggan menyampaikan kritik karena takut dikenai sanksi akademik atau hukum.
Urgensi dari isu ini menjadi sangat penting karena kebebasan berpendapat merupakan dasar bagi terciptanya budaya akademik yang sehat, kritis, dan terbuka. Dalam konteks teknologi, algoritma media sosial sering kali membatasi jangkauan opini tertentu. Secara sosial, mahasiswa membutuhkan ruang aman untuk berdiskusi tanpa tekanan, lalu secara kebijakan kampus harus mampu menyeimbangkan aturan etika dengan perlindungan hak-hak mahasiswa, dan pada konteks pendidikan, kebebasan menyampaikan pendapat berperan penting dalam membentuk kemampuan berpikir kritis. Jika tidak dilindungi, ruang kampus dapat kehilangan fungsi intelektualnya sebagai tempat berkembangnya ide, inovasi, dan dialog akademik.
Pembahasan
● Konteks Isu

Dalam memahami kondisi kebebasan berpendapat di kampus, saya merujuk pada hasil survei dari jurnal Persepsi Mahasiswa terhadap Kebebasan Berpendapat di Indonesia (Nurally dkk., 2025). Survei tersebut menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa memiliki pandangan positif terhadap pentingnya kebebasan berpendapat, dengan 39 responden “Sangat Setuju” dan 11 “Setuju”, menegaskan bahwa hak ini dianggap bagian penting dari kehidupan demokratis.
Namun, ketika dikaitkan dengan lingkungan kampus, muncul dinamika berbeda. Walaupun sebagian besar mahasiswa merasa cukup bebas menyampaikan pendapat (16 Sangat Setuju, 32 Setuju), masih ada responden yang merasa kebebasan ini belum sepenuhnya terjamin. Selain itu, sekitar 35 responden mengaku pernah merasa takut untuk menyampaikan pendapat karena kekhawatiran terhadap tekanan sosial atau konsekuensi akademik. Temuan ini menunjukkan bahwa kampus memang menyediakan ruang dialog, tetapi hambatan psikologis dan institusional masih memengaruhi keberanian mahasiswa dalam berpendapat.
● Analisis & Argumentasi
Hasil survei yang telah dipaparkan sebelumnya menunjukkan bahwa meskipun mahasiswa memahami pentingnya kebebasan berpendapat, tidak semua merasa leluasa untuk menyampaikan pendapat di lingkungan kampus. Perbedaan ini mengisyaratkan bahwa persoalan kebebasan berpendapat tidak hanya terkait dengan pemahaman hak, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya, serta dinamika internal kampus. Adanya mahasiswa yang masih ragu atau takut berbicara menunjukkan bahwa terdapat tekanan psikologis maupun faktor institusional yang memengaruhi keberanian mereka, seperti kekhawatiran terhadap penilaian teman, respons dosen, atau risiko dianggap mengganggu suasana akademik.
Penelitian oleh Nurally dkk. (2025) juga menegaskan bahwa hambatan tersebut selaras dengan fenomena chilling effect, yakni kondisi ketika seseorang menahan diri untuk menyampaikan pendapat karena merasa tidak sepenuhnya aman. Dalam konteks kampus, hal ini menjadi tanda bahwa ruang
akademik belum sepenuhnya berfungsi sebagai tempat dialog yang bebas dan mendukung keberagaman pandangan mahasiswa. Sebaliknya, tekanan sosial dan ketidakjelasan batas ekspresi dapat membuat mahasiswa memilih diam meski memiliki gagasan kritis. Oleh sebab itu, isu kebebasan berpendapat di kampus bukan sekadar soal menyediakan ruang untuk berbicara, tetapi juga menghadirkan perlindungan psikologis dan budaya akademik yang mendorong mahasiswa untuk menyampaikan ide maupun kritik secara sehat dan konstruktif.
● Dampak & Implikasi
Kesenjangan antara pemahaman mahasiswa tentang pentingnya kebebasan berpendapat dan keberanian mereka dalam mengekspresikannya memiliki dampak yang signifikan terhadap dinamika akademik di kampus. Ketika mahasiswa merasa ragu atau takut untuk berbicara, proses diskusi di kelas menjadi kurang hidup, ide-ide kritis tidak muncul, dan kualitas pembelajaran melemah. Dampak ini bukan hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh lingkungan akademik secara keseluruhan, karena hilangnya partisipasi aktif menyebabkan ruang kelas kehilangan fungsi utamanya sebagai tempat bertukar gagasan dan menguji pemikiran secara terbuka.
Selain itu, munculnya chilling effect dalam lingkungan kampus dapat berimplikasi pada menurunnya keberanian mahasiswa untuk menyampaikan kritik terhadap kebijakan kampus atau isu sosial yang lebih luas. Hal ini berpotensi menurunkan kapasitas mahasiswa untuk berperan sebagai agen perubahan dan menghambat terbentuknya budaya intelektual yang sehat. Jika dibiarkan, kampus dapat berubah menjadi ruang yang pasif, di mana mahasiswa lebih memilih aman daripada berpendapat. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengurangi kualitas demokrasi di lingkungan pendidikan tinggi, karena kebebasan berpendapat merupakan keterampilan dasar yang dibutuhkan mahasiswa untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik.
● Solusi / Rekomendasi
Untuk mengurangi kesenjangan antara pemahaman dan praktik kebebasan berpendapat di kampus, diperlukan upaya yang berfokus pada penciptaan lingkungan yang aman dan suportif bagi mahasiswa. Salah satu langkah penting adalah memperkuat kebijakan internal kampus yang secara eksplisit menjamin kebebasan berpendapat, termasuk melalui pedoman yang jelas mengenai batasan ekspresi serta mekanisme pelaporan yang melindungi mahasiswa dari intimidasi atau tekanan akademik. Selain itu, kampus dapat menyelenggarakan forum diskusi rutin, ruang dialog terbuka, dan kegiatan akademik yang mendorong mahasiswa untuk menyampaikan pandangan kritis secara terstruktur dan konstruktif.
Di sisi lain, peningkatan literasi digital dan pemahaman hukum juga menjadi elemen penting agar mahasiswa dapat mengekspresikan pendapat dengan aman, terutama di era digital yang rentan terhadap penyalahgunaan informasi dan pelaporan berlebihan. Mahasiswa perlu dibekali pengetahuan mengenai etika berpendapat, hak digital, dan cara menghindari risiko chilling effect ketika menyampaikan opini, baik secara luring maupun daring. Dengan kombinasi dukungan institusional dan penguatan kapasitas individu, kampus dapat membangun budaya
akademik yang inklusif, dialogis, dan melindungi kebebasan berpendapat sebagai bagian dari perkembangan intelektual mahasiswa.
Kesimpulan
Kebebasan berpendapat merupakan salah satu fondasi penting dalam lingkungan akademik, namun temuan survei menunjukkan bahwa mahasiswa belum sepenuhnya merasa aman untuk mengekspresikan pendapatnya di kampus. Meskipun secara prinsip mereka sangat mendukung hak tersebut, masih terdapat hambatan psikologis dan sosial yang membuat sebagian mahasiswa ragu atau takut berbicara. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa persoalan kebebasan berpendapat tidak hanya bergantung pada pemahaman mahasiswa, tetapi juga pada budaya kampus dan dukungan institusional yang mereka terima.
Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret untuk menciptakan ruang akademik yang lebih terbuka, aman, dan dialogis. Kampus perlu memperkuat kebijakan perlindungan ekspresi, menyediakan forum diskusi yang inklusif, serta meningkatkan literasi digital dan pemahaman hukum mahasiswa. Dengan demikian, kampus tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga ruang yang mendorong keberanian, pemikiran kritis, dan partisipasi aktif mahasiswa dalam kehidupan akademik dan sosial.
Referensi / Sumber
1. Agustini, S., Tan, W., & Geovanni, G. (2023). "Analisis Hukum Terhadap Penyampaian Informasi Elektronik yang Melanggar Norma Moral." Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum, 7(2), 349– 374.
2. Andriansyah, M. W., & Kusnadi, S. A. (2024). "Hak Kebebasan Berpendapat di Era Digital dalam Perspektif Hak Asasi Manusia." Gorontalo Law Review, 7(2).
3. Karyadi Dwi Nurally, Fida Ismaturrohman, Regan Fadhla Pradigfa, dkk. (2025). Persepsi Mahasiswa terhadap Kebebasan Berpendapat di Indonesia. GARUDA: Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Filsafat, 3(2), 209-223.
Lampiran
Gambar 1: Hasil Survei Persepsi Mahasiswa Terhadap Kebebasan Berpendapat • Sumber gambar:
https://www.researchgate.net/publication/396124622_Persepsi_Mahasiswa_terhadap_Ke bebasan_Berpendapat_di_Indonesia
Penulis
Nama : Cahaya Calida Jihan Sahwali
Divisi : Superinti
